Halaman utama daerahkita.com
Halaman utama daerahkita.com
oursmarteducation

Oto Iskandar di Nata, Si Jalak Harupat, Pahlawan Dari Bandung

DaerahKita 24/05/2019

Biografi pahlawan yang akan akan kita bahas sekarang adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari daerah Bandung, Jawa Barat.

Pada 31 Maret 1897 terdengar tangis bayi dari rumah yang paling besar di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Itulah tangisan pertama R. Oto Iskandar di Nata, putra pasangan Raden Haji Rachmat Adam, kepala desa Bojongsoang dengam Nyi Radem Siti Hatijah.

Oto - anak ketiga dari delapan bersaudara - besar dalam kelarga bangsawan. Sehingga hidupnya relatif lebih baik dibandingkan kehidupan anak-anak orang kebanyakan. Setelah cukup umur, ia masuk Hollandsch-Inlandsche School (HIS) (sekolah Belanda untuk bumiputera).

Di masa kanak-kanak, Oto gemar berolahraga, terutama sepakbola. Olahraga ini tetap disukainya hingga dewasa. Selain menjadi pemain, ia juga sering menjadi wasit dan pernah menjadi ketua PERSIB, bersama Rahim, mertua Bung Hatta. Ia juga menaruh perhatian cukup besar pada kesenian. Gemar main tonil (teater drama atau sandiwara berasal dari kata dalam bahasa Belanda, het toneel), juga pandai menabuh gamelan dan menari Sunda.

Setamat dari HIS, Oto melanjutkan pelajaran ke Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) yang merupakan sekolah berasrama di Bandung. Dalam asrama, Oto dianggap anak yang aktif dan terkadang berani melanggar aturan.

Akibatnya, Oto sering dihukum pemimpin asrama - misalnya dengan sering dilarang keuar kamar. Sikap pemberaninya diimbangi dengan kepandaiannya. Setiap tahun ia naik kelas dengan angka-angka yang menonjol.

Kemudian, Oto melanjutkan studi ke Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Di sini pemuda Oto mulai gemar membaca, terutama buku-buku dan surat kabar berbau politik. Koran yang sering dibacanya antara lain De Express, asuhan Douwes Dekker. Karena isinya sering mengecam pemerintah Belanda, murid sekolah guru dilarang membaca koran tersebut. Oto pun dengan sembunyi-sembunyi membaca dan menyimpannya di bawah bantal atau kasur.

Dari bacaan itu, jiwa Oto menjadi lebih matang. Ia mulai tertarik pada maslah kemasyarakatan, kebangsaan, dan perjuangan.

Selain pandai bergaul, Oto juga suka berterus terang. Sikap ini kadang membuat orang marah. Seperti dilakukan suatu kali dengan mengenakan dasi kuning ke sekolah. Ada guru Belanda yang tidak senang melihatnya. “Hai Oto, kenapa kamu memakai dasi? Bukankan saya sendiri tidak memakai dasi?”

Oto dengan tenang menjawab, “Tuan Guru tidak perlu memakai dasi, sebab Tuan sudah tua.”

Tentu saja sang guru marah, “Kurang ajar kamu! Ayo keluar!”

Guru itu heran ada anak pribumi berani bicara seperti itu kepada Tuan Belanda.

Saat sang anak keluar rdari ruang kelas, ia mendengar sang guru bergumam, “Andaikata ia anak Belanda, ia pasti disebut anak yang suka berterus terang.”

Sejak itu Oto berpikir dan merenung, jika ia anak sinyo, ia akan ndisebut anak yang terus terang. Namun, karena ia anak pribumi, maka ia pun disebut anak yang kurang ajar. Sang anak disadarkan bahwa ia anak dari bangsa yang terjajah. Ia merasa ingin memberontak.

Selepas Sekolah Guru, Oto memulai pengabdian sebagai guru sekolah HIS di Banjarnegara. Profesi guru memang menjadi cita-citanya sejak melanjutkan pendidikan ke Kweekschool. Ia menjalankan tugas dengan penuh dedikasi. Ia sadar, dengan pendidikan, bangsanya bisa menjadi bangsa berilmu dan mengerti tugas serta tanggung jawab terhadap Tanah Air.

Koran Dibolongi

Suatu pagi di sebuah kelas HIS Kelas Tujuh di Banjarnegara, terdengar suara guru yang berwibawa. Ia menyuruh seorang murid perempuan untuk pindah duduk ke belakang.

Murid ayu bernama Rr. Soekirah itu tanpa membantah mengikuti perintah itu. Namun, hatinya bertanya-tanya, sudah sekian kali gurunya memberi perintah yang sama. Apa salahnya?

Ternyata guru berbadan tinggi besar berkulit agak gelap, tapi penuh wibawa itu menaksir si murid. Lucunya, sang guru - yang tak lain adalah Oto Iskandar di Nata - sering mencuri pandang memperhatikan wajah muridnya dari balik surat kabar yang sengaja dibolongi.

Pada April 1923 di Bandung berlangsunglah pernikahan Oto yang sepuluh tahun lebih tua dengan Soekirah, putri Asisten Wedana di Banjarnegara. DI Bandung Oto mulai aktif dalam pergerakan politik. Ia menjadi wakil ketua Boedi Oetomo Cabang Bandung.

Pada Agustus 1924 keluarga muda Oto pindah ke Pekalongan. Ketika iti Oto masih aktif di Boedi Oetomo.

Ketika menjadi anggota Dewan Kota Pekalongan, Oto membongkar kasus Bendungan Kemuning. Rakyat pun terselamatkan dari penipuan yang dilakukan seorang pengusaha Belanda. Keberaniannya itu membuat Residen Pekalongan marah. Akibatnya, Oto masuk dalam daftar hitam orang-orang yang dihukum buang. Nyali Oto tidak ciut. Konflik dengan residen berakhir dengan dipiindahkannya sang residen.

Nama Oto makin populer. Sepak terjangnya membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir. Maka ia dipindah ke Batavia pada 1928.

Pekik Merdeka

Di Batavia, Oto mengajar di HIS Muhammadiyah, Aktivitas di bidang Politik juga meningkat. Profesi wartawan pun dilakoninya. Profesi guru akhirnya ia tinggalkan pada akhir 1933. Namun perhatiannya pada bidang pendidikan tidaklah surut.

Berikutnya ia berkiprah di Pagoejoeban Pasoendan cabang Batavia sejak Juli 1928 dan langsung menduduki posisi Sekretaris Pengurus Besar. Pada kongres di Bandung, Desember 1928, ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar oeganisasi itu.

Pada masa kepemimpinannya, Pagoejoeban Pasoendan mengalami kemajuan pesat di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kewanitaan. Meskipun organisasi ini berbasis masyarakat Sunda, jangkauan perjuangannya bersifat nasional. Tidak salah kalau Pagoejoeban Pasoendan dikategorikan pergerekan etnonasionalis.

Di bawah kendali Oto pula karya Pagoejoeban Pasoendan di bidang pendidikan begitu nyata. Sekolah-sekolah mulai didirikan oleh organisasi ini. Pada 1941, 51 unit sekolah yang tersebar di 36 daerah di Jawa Barat berhasil didirikan. Uniknya, arsitektur gedung-gedung sekolahnya diusahakan mengikuti gaya kebudayaan Sunda, seperti atap julang ngapak.

Hasil perjuangan Oto dengan Pagoejoeban Pasoendan di bidang pendidikan masih eksis hingga hari ini. Selain puluhan sekolah dasar dan menengah, ada Universitas Pasoendan, universitas terkemuka di Bandung.

Di bidang sosial juga ada Sociaalfonds Pasoendan. Tugasnya membantu penduduk yang terkena musibah kebakaran, banjir, atau kelaparan. Pendirian lembaga sosial ini tak lepas dari pribadi Oto yang sering memberi bantuan cuma-cuma pada siapa saja yang membutuhkan. Bahkan ada beberapa orang yang setiap bulan datang mengambil jatah sembako gratis. Sikap murah hatinya kadang membuat Soekirah harus pandai mengelola keuangan rumah tangga.

FB Tokoh Indonesia
Keluarga R. Oto Iskandar di Nata

Toh di tengah kesibukannya memimpin Pagoejoeban Pasoendan dan anggota Volksraad (Dewan Rakyat), ia tetap memeperhatikan putra-putrinya. Saat ada anaknya berulang tahun misalnya, Oto akan menjemputnya di sekolah, lalu mengajaknya ke toko untuk membeli kado.

Selama 20 tahun berumahtangga, Oto dikaruniai 12 anak. Banyaknya anak, membuat keluarga Oto menempati rumah yang lebih besar dengan banyak kamar. Namun, rumah itu hanya memiliki satu kamar mandi. Kondisi ini rupanya digunakan Oto untuk membangkitkan jiwa kebangsaan anak-anaknya. Biasanya, pagi-pagi sebelum mandi, anak-anak duduk di bangku besar dekat kamar mandi. Mereka menunggu ayahnya hingga selesai mandi.

Ketika keluar kamar mandi, Oto akan berteriak, “Indonesia Merdeka!”

Anak-anak diajari menjawab dengan teriakan yang sama. Bila mereka diam saja, Oto akan berteriak lagi. Semua terjadi pada jaman Jepang, menjelang Proklamasi Kemerdekaan.

Diakui, Oto-lah orang pertama yang mempopulerkan pekik “Indonesia Merdeka” yang kemudian disingkat menjadi “Merdeka!” saja.

Kepada anak-anaknya, Oto juga menanamkan rasa pengabdian kepada keluarga maupun Tanah Air. Oto selalu berpesan kepada anak-anak lelakinya untuk mencintai tiga ibu. Yaitu ibu kandung, ibu anak-anaknya (istri), dan ibu pertiwi. Ibu yang pertama suatu saat harus rela ditinggalkan demi kepentingan ibu ketiga.

Pesan patriotis itu sungguh ia laksanakan. Pada jaman Jepang, ketika anak sulungnya, Sentot, ingin melanjutkan ke Technische Hooge School (THS, kini ITB), Oto memintanya menunda keinginan itu. Ia meminta Sentot menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air). Sentot pun tak menolaknya.

Di Volksraad, Oto duduk sebagai wakil Pagoejoeban Pasoendan selama tiga periode, yakni 1931-1934, 1935-1938, dan 1939-1942. Ia tergabung dalam Fraksi Nasional yang didirikan MH Thamrin, Ketua Perkumpulan Kaum Betawi.

Dalam sidang, ia tak segan-segan mengkritik keras Pemerintah Hindia Belanda. Tentu saja kritik itu membuat merah telinga Ketua Sidang. Ia pun berusaha menangkis kritik Oto. Terjadilah perdebatan seru. Oto pun dengan tangkas menjawab semua tangkisan itu.

Keberanian Oto berbicara keras di dalam sidang membuat ia dijuluki Si Jalak Harupat. Julukan itu bermakna seperti ayam jago yang keras dan tajam kalau menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang kalau diadu.

Menjadi Mediator

Di masa-masa berikutnya banyak peran penting dilakoni Oto. Di antaranya, ikut serta dalam pembentukan PETA, Panitia Kecil BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Ketika Indonesia baru saja meraih kemerdekaan, dalam sidang pertama PPKI - Sabtu, 19 Agustus 1945 - di Gedung Chuo-Sangi-in, tanpa disangka-sangka Oto secara spontan mencalonkan Bung Karno sebagi Presiden, dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. Usulan itu mendapat sambutan baik.

Berikutnya , Oto tergabung dengan Panitia Kecil yang bertugas membuat rancangan tentang urusan rakyat, pemerintahan daerah, kepolisian, dan tentara kebangsaan. Amanat berat berikutnya harus ia pikul, yaitu sebagai Menteri Negara yang mengurus masalah keamanan - masalah krusial di awal kemerdekaan.

Dalam rapat PPKI tanggal 20 Agustus 1945, diputuskan tiga hal penting, di antaranya dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Sebagian besar pemuda, mantan anggota PETA, KNIL, dan Heiho membentuk BKR di daerah masing-masing.

Namun, sebagian pemuda, yang pada jaman Jepang telah membentuk kelompok-kelompok politik dan berperan besar dalam mencetuskan proklamasi kemerdekaan, tidak puas dengan BKR. Yang tidak bergabung dalam BKR akhirnya membentuk badan-badan perjuangan, yang dikenal dengan laskar rakyat.

Para pemuda, baik yang tergabung dalam BKR maupun laskar rakyat, yang ingin menegakkan kedaulatan berusaha merebut senjata dari Jepang dan merebut gedung-gedung penting. Usaha itu ada yang gagal, ada pulang yang berhasil.

Komandan pasukan Jepang di Bandung mendatangi Oto dan membicarakan hal itu. Tindakan para pemuda menyulitkan pihak Jepang, karena Jepang tidak diijinkan untuk menyerahkan senjata ke pihak Indonesia. Mereka harus menjaga status quo di Indonesia hingga Sekutu datang. Namun, usulan solusi komandan pasukan Jepang itu dulit dilaksanakan.

Malah kemudian, para pemuda meminta untuk mengubungi pihak Jepang, agar mau menyerahkan senjata kepada para pemuda. Bersama Ir. Oekar dan Poeradiredja, Oto mendatangi Mayor Jenderal Mabuchi, untuk mengutarakan keinginan para pemuda Indonesia.

Diplomasi ini menghasilkan persetujuan, bahwa penyerahan senjata akan dilakukan berangsur-angsur kepada yang berwenang di pihak Republik. Ini menunjukkan bahwa para pejabat lebih mengutamakan diplomasi daripada perjuangan bersenjata, sesuai kebijakan di pusat dan mematuhi yang sudah diputuskan secara internasional. Itu sebabnya, beberapa pemimpin sering dicap sebagai “kolaborator” Jepang.

Tidak ada bukti jelas bahwa pihak Jepang melaksanakan persetujuan itu. Para pemuda yang tidak menyukai diplomasi yang berjalan lambat menjadi tidak sabar lagi. Perampasan senjata pun terus dilakukan.

Maka, terjadilah peristiwa tragis 10 Oktober 1945, Jepang yang berusaha menghentikan serangan massa, tidak hanya mengatasi secara musyawarah, tetapi juga dengan menyerbu markas-markas BKR. Bencana itu membuat para pemuda marah.

Oto “hilang”

Seorang pejuang dan politisi sering tidak lepas dari ancaman yang membahayakan keselamatan jiwa. Itu pula yang dialami Oto. Soekirah mencatat dalam sebuah buku kecil, pada 26 Oktober, Bapa (maksudnya Oto) berangkat ke Jakarta. Oto berangkat karena ada telepon ke rumah yang mengharuskannya datang ke Jakarta. Keluarga Oto memang tinggal di Bandung.

Bila sedang di Jakarta, Oto terbiasa setiap pagi menelepon istrinya di Bandung. Namun, kali ini Oto tidak menelepon selam dua hari. Soekirah yang gelisah lalu menelepon ke Jakarta untuk mencari informasi.

Nyonya Oto menuliskan, “31/10 ontvoerd rebo djam 11 siang” (diculik, Rabu pukul 11 siang). Ia tahu hal itu dari Kiwan, pembantu keluarga yang menemani Oto tinggal di Jakarta.

Selanjutnya, Soekirah menulis, “5/11 nlepon ka Djk. Nembe terang Bapa teu aja. Nlangsa. Sedih.” (artinya, menelepon ke Jakarta. Baru tahu Bapak tidak ada. Nelangsa. Sedih). Jelas, tanggal 5 November ia diberi tahu seseorang bahwa suaminya tidak ada. Tidak jelas, apakah suaminya “tidak ada” dalam arti meninggal atau tidak ada di Jakarta.

Baru beberapa waktu kemudian ia menerima surat dari Oto tertanggal 31 Oktober 1945. Isinya, Oto sedang prihatin, mendapat cobaan berupa fitnah. Dalam fotokopi surat itu ada catatan Soekirah, yang ditulis tangan dari atas ke bawah di bagian sisi surat: “laatste brief van Bapa” (surat terakhir dari Bapak).

Hari-hari penuh kegalauan dirasakan Soekirah. Berita dari suami tak kunjung datang, ditambah pula ia sedang mengandung anak bungsunya.

Di manakah Oto Iskandar di Nata?

Akhirnya datang juga kabar yang ditunggu. Berita resmi diterima menjelang akhir Desember 1945. Isinya, R. Oto Iskandar di Nata telah menjadi korban “Laskar Hitam’ di Pantai Mauk, Tangerang. Dalam berita resmi disebutkan, Menteri Negara “Pertahanan” itu tewas tanggal 20 Desember 1945.

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat membangun sebuah taman makam pahlawan untuk R. Oto Iskandar di Nata. Taman pasir pahlawan yang terletak di Lembang memang hanya menyimpan sejumput pasir dibungkus kain putih yang diambil dari Pantai Mauk, Tangerang. Jenazah Oto tidak pernah ditemukan.

Pada 6 November 1973, berdasarkan Keppres No. 088/TK/1973, pemerintah menobatkan Raden Oto Iskandar di Nata sebagai pahlawan.

Tags sejarah biografi pahlawan edukasi pejuang
Referensi:
  1. Artikel Oto Iskandar Di Nata, Si Jalak Harupat. Ditulis oleh Shinta Teviningrum, dimuat di Majalah Intisari edisi November 2003
  2. Buku Pahlawan-pahlawan Indonesia Sepanjang Masa (Didi Junaedi)

Artikel Terkait:




Semua Komentar
    Belum ada komentar
Tulis Komentar