
Dikisahkan, pada suatu masa, di Tengger terdapat sepasang suami istri yang memiliki seorang anak laki-laki bernama Joko Tengger. Sang suami bernama Ki Umah. Mereka hidup dengan bahagia dan tenteram.
Joko Tengger adalah pemuda yang baik hati dan memiliki kesaktian. Meskipun demikian, ia tidak pernah sombong dan selalu hormat kepada kedua orangtuanya. Suatu hari, Ki Umah menyuruh Joko Tengger untuk menjual hasil ladangnya ke kota.
“Anakku, bawalah hasil ladang kita ke kota.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Joko Tengger.
Joko Tengger kemudian mengumpulkan semua hasil ladang. Ternyata, hasil ladang itu sangatlah banyak dan cukup berat. Meskipun demikian, Joko Tengger tetap membawa semua hasil ladang itu hanya dengan sebatang pohon cemara. Meskipun tubuhnya tampak biasa-biasa saja, tapi kekuatannya sangat luar biasa. Orang biasa tidak akan mampu membawa hasil ladang yang jumlahnya sangat banyak itu.
Kehebatan Joko Tengger akhirnya sampai ke telinga Sri Sultan Kartasura. Kemudian Sri Sultan Kartasura menyuruh para pengawalnya memanggil Joko Tengger untuk menghadap. Tidak berapa lama, Joko Tengger tiba di istana.
“Hamba menghadap, Yang Mulia,” ucap Joko Tengger takzim.
“Benarkah kamu Joko Tengger?” tanya Sri Sultan Kartasura.
“Benar, Yang Mulia. Hamba adalah Jok Tengger.”
“Aku dengar kau sangat hebat. Aku ingin kamu mengabdi di istanaku,” pinta Sri Sultan Kartasura.
“Dengan senang hati, Yang Mulia,” jawab Joko Tengger.
Akhirnya, Joko Tengger pun tinggal di istana dan mengabdi pada kerajaan Kartasura. Suatu hari, Sri Sultan Kertasura bertanya kepada Joko Tengger. “Hai Joko Tengger, sebenarnya senjata apa yang kamu miliki?”
“Ampun Yang Mulia. Hamba tidak memiliki senjata apa pun. Orangtua hamba juga tidak mewariskan apa-apa kepada hamba,” jawab Joko Tengger dengan penuh hormat.
“Sungguh sangat disayangkan, seharusnya sebagai seorang prajurit kau harus memiliki senjata,” kata Sri Sultan Kartasura.
“Maaf Yang Mulia. Mungkin orangtua hamba belum sempat mewariskan senjata untuk hamba. Jika diizinkan, hamba akan pulang kembali ke kampung halaman untuk bertanya kepada orangtua hamba,” pinta Joko Tengger.
“Jika itu maumu, baiklah. Aku akan mengizinkanmu kembali ke kampung halaman. Tanyakan hal itu kepada kedua orangtuamu. Jika sudah selesai urusanmu, segeralah kembali ke istana.”
“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Joko Tengger.
Kemudian, Joko Tengger pun pergi ke kampung halamannya. Perjalanan dari Kartasura ke Tengger biasanya ditempuh dalam beberapa hari atau bahkan beberapa minggu. Namun, karena kesaktian Joko Tengger, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu singkat.
Saat tiba di kampung halamannya, Joko Tengger disambut dengan sukacita oleh kedua orangtuanya. Ki Umah dan istrinya sangat merindukan anak semata wayang mereka yang sudah lama tidak berjumpa. Kemudian, Joko Tengger menyampaikan pesan Sri Sultan Kartasura kepada kedua orangtuanya.
“Ayah, Ibu, kemarin Sri Sultan bertanya kepadaku tentang senjata pusaka. Sekarang aku diizinkan kembali ke rumah untuk bertanya tentang hal itu. Adakah senjata warisan untukku?” tanya Joko Tengger.
Mendengar hal itu, kedua orangtua Joko Tengger merasa sedih, karena mereka tidak memiliki apa pun untuk diwariskan kepada anaknya. Mereka tidak tahu harus berkata apa. Namun, mereka harus menjawab pertanyaan anak semata wayangnya.
“Anakku tercinta, kau perlu tahu satu hal bahwa senjata warisan yang paling ampuh adalah kedua orang tuamu. Dia adalah ayah dan ibumu,” ucap ayahnya.
Joko Tengger amat bahagia mendengar penjelasan ayahnya. Dengan demikian, berarti kedua orang tuanya dapat dibawa untuk menemui Sri Sultan. “Kalau begitu, ayah dan ibu harus ikut aku ke istana untuk bertemu Sri Sultan Kartasura. Aku akan memberitahukan bahwa ayah dan ibu adalah warisan dan senjata pusaka untukku,” kata Joko Tengger.
Betapa terkejutnya Ki Umah dan istrinya mendengar ucapan anaknya. Sebenarnya, Ki Umah hanya memberikan kata kiasan kepada Joko Tengger.
Tapi apa boleh buat, ia sudah terlanjur berkata demikian. Ia tidak ingin anaknya kecewa.
Keesokan harinya, Joko Tengger dan kedua orangtuanya berangkat ke istana untuk menemui Sri Sultan. Saat tiba di istana, hal yang ajaib terjadi. Ki Umah dan istrinya berubah bentuk menjadi dua buah meriam yang sangat ampuh. Melihat hal itu, Joko Tengger sangat terkejut. Ia pun sangat sedih karena harus kehilangan kedua orangtua yang sangat dicintainya. Meskipun dalam keadaan berduka, Joko Tengger harus segera menghadap Sri Sultan.
“Yang mulia, hamba datang menghadap, kata Joko Tengger.
“Bagaimana, Joko Tengger? Apa yang kamu bawa dari kampung halamanmu?” tanya Sri Sultan Kartasura.
“Hamba datang membawa dua buah senjata ini,” jawab Joko Tengger sambil menyerahkan dua meriam yang merupakan perubahan bentuk dari kedua orangtuanya.
Benar saja, ternyata kedua meriam itu sangat ampuh dan berguna untuk pertahanan Kerajaan Kartasura. Pada beberapa kali peperangan, meriam itu dapat digunakan untuk menghancurkan pertahanan musuh.
Kemudian kedua meriam itu diberi nama Kyai Setomo dan Nyai Setomi yang masih ada hingga sekarang. Meriam Kyai Setomo kini berada di Taman Fatahillah, Jakarta. Sedangkan, meriam Nyai Setomi berada di Kartasura.
Pesan moral:
Kejujuran Joko Tengger patut diteladani. Begitu juga sifatnya yang tidak sombong walaupun memiliki kemampuan lebih dibandingkan orang lain.
Baca Juga:
Artikel Terkait: