
Dikisahkan, dahulu kala bumi adalah suatu tempat yang sangat luas dan belum dihuni oleh siapa pun. Raja Langit yang bernama La Patiganna bermusyawarah dengan keluarga kerajaan serta beberapa anggota kerajaan langit yang juga dihadiri oleh Senrijawa dan Peretiwi yang berasal dari alam gaib.
“Saudara-saudaraku, bumi adalah tempat yang sangat luas dan indah. Tapi kulihat tidak ada seorangpun manusia yang hidup di bumi. Sangat disayangkan jika keindahan bumi tidak dikelola dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Bagaimana jika kita mengirim seseorang untuk mengatur segala sesuatunya di bumi dan menjadi raja?” ujar Raja Langit.
“Aku pikir juga begitu. Bumi tampak kosong dan tidak berpenghuni. Tapi siapa yang akan kita kirim ke sana, Baginda?” tanya salah seorang anggota kerajaan.
“Aku akan mengirim putra tertuaku, La Toge Langi,” ucap Raja Langit.
Semua yang hadir ketika itu menyepakati bahwa La Toge Langi-lah yang akan pergi ke bumi. Namun, bukanlah hal yang mudah untuk menjadi seorang Raja Bumi. Ia harus melalui masa ujian selama 40 hari dan 40 malam.
Hari berganti hari, La Toge melalui masa ujian itu dengan sabar. Kesabarannya pun membuahkan hasil. Ia kemudian dinyatakan layak untuk dikirim ke bumi. Setelah mendengar hal itu, berangkatlah ia sebagai seorang Raja Alekawi (Bumi) dadn menggunakan gelar Batara Guru. Wilayah tempat pertama kali La Toge Langi berpijak adalah di Ussu. Wilayah ini sekarang terletak di daerah Luwu Timur yang berada di Teluk Bone.
Setelah beberapa lama menjadi seorang raja di bumi, La Toge Langi menikah dengan anak Raja Alam Gaib yang bernama Guru Ri Selleng, yang terhitung masih sepupunya. Wanita itu bernama We Nyili’timo.
Waktu berlalu, La Toge Langi kemudiann dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak itu bernama La Tiuleng. Ketika La Tiuleng beranjak dewasa, kedudukan ayahnya sebagai Raja Bumi digantikan olehnya. Ia pun diberi gelar Batara Lattu. Setelah itu ia dikaruniai anak kembar, yaitu seorang ank laki-laki bernama Lawe atau La Madukelleng, sering juga disebut Sawerigading (Putra Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tanriyabeng.
Sawerigading dan We Tanriyabeng tidak dibesarkan bersama-sama. Mereka hidup terpisah sehingga satu sama lain tidak saling mengenal. Tahun berganti tahun, Sawerigading dan Tanriyabeng tumbuh dewasa. Suatu hari, ketika Sawerigading sedang berjalan-jalan, tiba-tiba ia melihat gadis yang sangat cantik berlalu di hadapannya. Pada pandangan pertama, Sawerigading jatuh hati.
“Siapa namamu gadis cantik?” tanya Sawerigading.
“Namaku We Tanriyabeng,” jawab sang gadis dengan tersipu.
Perkenalan mereka pun berlanjut. Sawerigading mengutarakan keinginannya untuk menikahi We Tanriyabeng. Ketika keduanya sepakat untuk meminta restu kepada kedua orangtua, betapa terkejutnya mereka mengetahui bahwa mereka adalah saudara kembar yang terpisah. Hancurlah perasaan keduanya. Sawerigading dengan penuh kekecewaan pergi naik kapal meninggalkan Luwu dan bersumpah tidak ingin kembali lagi. Sedangkan We Tanriyabeng pergi entah kemana.
Sawerigading kemudian pergi mengembara hingga ke negeri Tiongkok. Dalam pengembaraannya ia berhasil mengalahkan beberapa kesatria kerajaan yang dijumpai selama perjalanan, bahkan juga mengalahkan raja Jawa Wollo, yaitu Setia Bonga.
Sawerigading pun menjadi seorang nakhoda kapal yang gagah perkasa. Dalam perlayarannya, Sawerigading menyinggahi berbagai tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (daerah yang diduga bernama Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau, dan Jawa Ritengga (kemungkinan Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau dan Sunra Riaja (Kemungkinan daerah itu bernama Sunda. Bisa jadi Sunda Timur, Sunda Barat, dan Melaka).
Kisah cinta Sawerigading ternyata belum usai, ia bertemu seorang putri cantik asal Tiongkok yang bernama We Cudai yang tak kalah cantik dari We Tenriabeng. Sawerigading lalu menikahi putri Tiongkok tersebut. Dari We Cudai, Sawerigading punya tiga anak, yakni Tenridio, Tenribaloba dan I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Selain kawin dengan We Cudai, Sawerigading juga kawin dengan We Cimpau dan memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.
Dikisahkan bahwa I La Galigo ketika dewasa menjadi seorang nakhoda kapal yang handal seperti ayahandanya. Namun, ia tidak pernah menjadi seorang raja. I La Galigo dikabarkan memiliki empat orang istri dari pelbagai negeri. Ia pun dikaruniai anak yang salah satunya bernama La Tenritatta. La Tenritatta adalah keturunan terakhir yang dinobatkan di Luwu.
Pesan moral:
Kita harus mengenal baik saudara kita. Sebagai sesama saudara kita harus jaga silaturahmi. Kalau hubungan antar saudara terjalin dengan baik, maka kita bisa terhindar dari kesalahan terhadap saudara kita sendiri.
Baca Juga:
Artikel Terkait: