
Diceritakan pada suatu ketika dulu, sewaktu Pulau Jawa dan Pulau Bali belum terpisah, di Kerajaan Daha hidup seorang Brahmana yang sangat sakti dan baik hati bernama Sidhimantra. Ia memiliki istri yang sangat cantik. Setelah bertahun-tahun mereka menikah, akhirnya dikaruniai seorang anak lakiaki yang tampan. Anak itu dinamai Manik Angkeran. Manik Angkeran pun tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Suatu hari, ketika Manik Angkeran sedang bermain ke desa seberang, ia melihat beberapa pemuda sedang bermain judi sabung ayam (adu ayam). Permainan itu membuatnya tertarik.
“Wah, permainan ini benar-benar menarik. Tanpa harus bekerja keras dan hanya bermodal seekor ayam kita akan mendapatkan uang dengan mudah. Kalau saja setiap hari aku menang, pasti aku akan cepat kaya,” pikir Manik Angkeran.
Setelah melihat permainan judi tersebut, Manik Angkeran kembali ke rumah. Ia terus berpikir tentang permainan judi itu. Keesokan harinya, Manik Angkeran kembali pergi ke desa seberang. Awalnya ia hanya bermaksud melihat permainan judi tersebut, tapi lama-kelamaan ia berubah pikiran. Manik Angkeran pergi ke pasar membeli seekor ayam jantan yang gagah dan sehat.
“Aku akan mencoba keberuntunganku. Sepertinya ayam ini dapat membantuku menjadi seorang yang kaya raya,” ucap Manik Angkeran dalam hati.
Sambil mmengelus-elus kepala ayam yang baru dibelinya di pasar, Manik Angkeran datang ke tempat judi sabung ayam. Lalu, ia ikut serta dalam permainan judi tersebut. Manik Angkeran terlihat menikmati permainan judi itu. Pada awal permainan, ayam miliknya berhasil mengalahkan lawannya. Alhasil, kemenangan serta uang yang banyak ia dapatkan dengan mudah. Kemengan itu membuatnya semakin menyukai permainan judi sabung ayam.
Taruhan besar pun ia lakukan. Tapi, menjelang permainan yang kedua, ayam miliknya kalah. Manik Angkeran rugi besar. Uang yang ia dapatkan dari kemenangan sebelumnya, telah berpindah tangan ke tangan lawannya.
Hari berganti hari, Manik Angkeran semakin penasaran dengan permainan judi itu sehingga pekerjaannya setiap hari hanya bermain judi. Melihat kelakuan Manik Angkeran orangtuanya menjadi cemas.
“Anakku, janganlah kau bermain judi. Judi dapat membuatmu melakukan perbuatan jahat. Jika kau menang, kau akan berfoya-foya. Jika kau kalah, kau akan semakin penasaran dan dapat berbuat apa saja untuk mendapatkan taruhannya,” nasihat orangtua Manik Angkeran.
Nasihat orangtuanya tidak didengarnya sedikit pun. Kebiasaan Manik Angkeran berjudi terus berlanjut. Hari demi hari bukanlah kemenangan yang ia dapatkan, melainkan kekalahan demi kekalahan yang ia alami. Uang miliknya bahkan harta benda milik orangtuanya habis di tempat judi. Agar dapat terus bermain judi sabung ayam, ia berutang kepada pemain judi lainnya.
Utang Manik Angkeran semakin lama semakin bertumpuk. Ia tidak dapat membayar utang-utangnya. Akhirnya, ia meminta bantuan kepada ayahnya agar utangnya dapat terlunasi.
“Ayah, tolong bantu aku! Aku sudah tidak memiliki apa-apa untuk melunasi utang-utangku, sedangkan mereka sudah menagih. Bagaimana ini, Ayah?” rengek Manik Angkeran kepada Sidhimantra.
Sidhimantra adalah orang yang sangat sakti. Lalu, ia berpuasa dan berdoa meminta pertolongan kepada dewata.
Suatu hari, ia mendengar bisikan, “Hai Sidhimantra, pergilah kau ke kawah Gunung Agung. Di sana, kau akan bertemu seekor naga yang bernama Naga Besukih. Mintalah dengan baik-baik untuk memberimu sedikit hartanya.”
Sesuai dengan petunjuk yang didapatkan, Sidhimantra pergi ke kawah Gunung Agung. Berbagai rintangan ia hadapi. Akhirnya, tibalah ia di tepi kawah Gunung Agung. Lalu, Sidhimantra duduk bersila sambil membunyikan genta dan mengucapkan mantra memanggil-manggil nama Naga Besukih. Tidak berapa lama, Naga Besukih keluar dari dalam kawah.
“Ada apa Sidhimantra? Kenapa kau mencariku?” tanya Naga Besukih.
“Maaf Naga Besukih jika kedatanganku menggangumu. Aku hanya ingin meminta sedikit hartamu untuk membayar utang-utang anakku karena sekarang aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi,” ucap Sidhimantra.
“Baiklah. Aku akan membantumu,” ucap Naga Besukih.
Sambil menggeliatgeliatkan tubuhnya, tiba-tiba dari sisik Naga Besukih keluar emas dan intan. Betapa bahagianya Sidhimantra. Akhirnya, ia bisa membayar utang-utang anaknya. Dengan rasa terima kasih, Sidhimantra mohon diri kepada Naga Besukih.
Setibanya di rumah, Sidhimantra memberikan harta benda tersebut kepada Manik Angkeran. Sidhimantra juga meminta anaknya untuk tidak berjudi lagi. Tapi, nasihat sang ayah tetap tidak didengar. Manik Angkeran berjudi lagi.
“Teman-teman, aku sudah punya uang sekarang. Ayo kita main lagi! Sekaligus akan kubayar semua utang-utangku,” ucap Manik Angkeran dengan senang.
“Lebih baik kau bayar dulu utang-utangmu! Jadi, jika kau kalah main, kau bisa mulai meminjam lagi kepada kami!” ucap salah seorang teman Manik Angkeran.
Kemudian, Manik Angkeran mengeluarkan sejumlah uang. Ia melunasi semua utangnya. Sedikit uang yang masih tersisa ia gunakan sebagai taruhan berjudi. Tapi sayang, berulang kali Manik Angkeran bermain, ia selalu mengalami kekalahan, Harta yang diberikan oleh ayahnya untuk melunasi utang-utangnya telah ludes di tempat judi.
Manik Angkeran pun kembali ke rumah. Ia merasa bingung untuk melunasi kembali utang-utangnya yang baru saja ia pinjam dari temannya untuk modal berjudinya saat itu.
“Ayah, maatkan aku,” ucap Manik Angkeran dengan merengek. “Uang yang ayah titipkan padaku untuk membayar utang-utangku sudah kulunaskan. Tapi, sisa uang untuk membayar utang sudah habis kugunakan untuk berjudi. Karena penasaran, aku kembali bermain dengan meminjam uang milik temanku. Dan ternyata, aku kalah berjudi. Bantulah aku untuk melunasi utangku. Aku janji tidak akan berjudi lagi,” ucap Manik Angkeran memohon.
“Aku tidak akan memberimu uang sepeser pun. Lagi pula aku sudah tidak memiliki uang untuk membayar utang-utangmu,” ketus ayahnya marah.
Betapa bingung Manik Angkeran mendengar sang ayah tidak bersedia membantunya lagi. Ia terus berpikir bagaimana agar utang-utangnya terlunasi. Di tengah kebingungan, Manik Angkeran bertemu dengan seorang temannya.
“Hai Manik, ada apa denganmu’? Sejak tadi kulihar kau tampak gelisah, tanya temannya.
“Ah... aku sedang bingung. Bagaimana aku harus melunasi utang-utangku? Orangtuaku sudah tidak mau lagi membantuku,” ucap Manik Angkeran.
“Kenapa tidak kau ikuti saja jejak ayahmu? Aku dengar ayahmu pergi ke Gunung Agung untuk mendapatkan harta sehingga ia dapat melunasi utang-utangmu,” usul temannya.
Mendengar hal itu, Manik Angkeran segera kembali ke rumah. la berniat untuk pergi ke Gunung Agung seperti ayahnya. Manik Angkeran tahu bahwa untuk sampai ke sana ia harus mengucapkan mantra dan berdoa. Namun, sedikit pun ia tidak pernah belajar hal itu. Meskipun demikian, Manik Angkeran tetap bertekad pergi ke Gunung Agung. Sebelum berangkat, ia sempat mencuri genta milik ayahnya yang ketika itu sedang tertidur lelap.
Sesampainya di kawah Gunung Agung, ia membu nyikan genta yang ia curi dari ayahnya. Bukan kepalang terkejutnya Manik Angkeran ketika tiba-tiba saja ia melihat sosok naga yang sangat besar. Naga itu adalah Naga Besukih.
“Hai anak muda, ada apa kau memanggilku?” tanya Naga Besukih.
“Maafkan aku Naga. Aku adalah Manik Angkeran, anak Sidhimantra. Uang dan benda berharga yang telah kau berikan kepada ayahku telah habis untuk membayar utang. Sebenarnya, aku bermaksud untuk berhenti berjudi, tapi teman-temanku selalu saja membujukku untuk berjudi. Hingga akhirnya, aku kembali berutang kepada mereka. Bantulah aku untuk membayar utang-utangku.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan harta yang kau minta. Tetapi ingatlah satu hal, kau harus berhenti berjudi,” pesan Naga Besukih.
“Baiklah Naga Besukih, aku akan menuruti pesanmu,” ucap Manik Angkeran.
Naga Besukih kemudian menggeliat-geliatkan tubuhnya. Tidak berapa lama, uang, emas, dan permata keluar dari tubuhnya. Betapa takjubnya Manik Angkeran melihat hal itu. Kini, uang, emas, dan permata telah ada di hadapannya.
Akhirnya, muncul niat jahat Manik Angkeran untuk membunuh Naga Besukih. Manik Angkeran berpikir dengan membunuh Naga Besukih dan menguliti tubuhnya, ia akan mendapat harta yang lebih banyak lagi. Ketika Naga Besukih berputar hendak kembali ke sarangnya, secepat kilat Manik Angkeran mengeluarkan golok yang dibawanya dan memotong ekor Naga Besukih.
Naga Besukih mengerang kesakitan. Ia menggeliat-geliatkan tubuhnya menahan sakit. Naga Besukih sangat murka terhadap Manik Angkeran. Manik Angkeran pun berusaha melarikan diri dari Naga Besukih. Tapi, malang nasib Manik Angkeran, meskipun ia telah berlari sejauh mungkin, tetap saja jejaknya dapat tercium oleh Naga Besukih. Dengan kesaktian Naga Besukih, Manik Angkeran terbakar hingga tubuhnya menjadi abu.
Kematian Manik Angkeran sampai di telinga ayahnya. Hal ini membuat kesedihan yang mendalam di keluarga Sidhimantra. Ia pun segera menemui Naga Besukih dan memohon agar Naga Besukih bersedia menghidupkan kembali anaknya.
“Naga Besukih, aku mohon maafkanlah kesalahan anakku. Aku tahu kau past sangat murka atas perbuatannya mencelakaimu. Tapi, tolonglah hidupkan Kembali anakku. Aku bersedia melakukan apa saja asalkan anakku hidup kembali," ucap Sidhimantra memohon.
“Aku bersedia menghidupkan kembali anakmu, asalkan kau bisa mengembalikan ekorku seperti semua,” ucap Naga Besukih kepada Sidhimantra.
Sidhimantra pun menyanggupi syarat Naga Besukih. Dengan kesaktiannya Sidhimantra mengucapkan mantra-mantra. Dalam sekejap, ekor Naga Besukih telah kembali seperti semula. Naga Besukih sangat bahagia.
Naga Besukih pun menepati janjinya. Dengan kesaktiannya ia menghidupkan Manik Angkeran yang sudah menjadi abu. Setelah dihidupkan kembali, Manik Angkeran pun meminta maaf kepada Naga Besukih dan ayahnya.
“Maafkan kesalahanku yang telah mencelakaimu, Naga Besukih. Ini semua karena keserakahanku. Maafkan juga aassegala kesalahan yang telah kuperbuat, Ayah. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi” ucap Manik Angkeran dengan penuh penyesalan.
“Anakku, aku sudah memafkanmu. Tapi, kau harus lebih belajar lagi tentang kehidupan. Naga Besukih, aku mohon kau bersedia mendidik anakku menjadi orang yang sakti dan berbudi pekerti lubur,” ucap Sidhimantra.
“Baiklah. Aku aku akan mendidik anakmu,” ucap Naga Besukih.
Sidhimantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat. Akan tetapi, dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama. "Kamu harus mulai hidup baru," kata Sidhimantra.
Akhirnya dengan tongkatnya, Sidhimantra membuat garis yang memisahkan ia dengan anaknya agar si anak terus belajar tentang kehidupan maupun kesaktian dari Naga Besukih. Maksudnya agar si anak terus belajar tentang kehidupan maupun kesaktian dari Naga Besukih. Dari garis itu, tiba-tiba mengeluarkan air yang semakin lama semakin deras. Akhirnya, Gunung Agung dan sekitarnya terpisah oleh genangan air yang berubah menjadi sebuah selat. Selat itu dinamai dengan Selat Bali Selat ini memisahkan Pulau Bali (daerah di sekitar Gypung Agung) dengan Pulau Jawa.
Pesan Moral:
Kisah ini memberitahukan kepada kita bahwa judi adalah perbuatan yang tidak baik. Sebab, akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, agama juga melarang kita untuk berjudi.
Baca Juga:
Artikel Terkait: