Halaman utama daerahkita.com
Halaman utama daerahkita.com
Hari Penerjemah Internasional 30 September 2023
wahyumedia

Mamle Si Anak Sakti, Cerita Rakyat Papua

DaerahKita 24/01/2021

Dahulu, seorang anak laki-laki dari suku Frisya menikah dengan seorang wanita dari suku Sandrafe. Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Mamle yang artinya orang sakti. Tidak berapa lama, ayah Mamle meninggal dunia. Mamle hanya tinggal dengan ibunya. Kemudian, mereka pindah ke Molsase.

Pada usia yang hampir menginjak remaja, Mamle sangat rajin membantu ibunya. Suatu hari, ketika ibunya sedang membuka ladang baru, Mamle membantu sang ibu dengan menebangi pohon yang sangat tinggi menggunakan tmakh khewekh (kapak batu). Hanya tinggal satu pohon yang belum ditebang yaitu pohon minggian (sejenis pohon sukun). Dengan semangat, Mamle memanjat pohon yang sangat tinggi itu. Ia menebang pohon tersebut mulai dari pucuk pohon. Sang ibu sangat khawatir dengan keselamatan anaknya.

"Mamle, turunlah kau dari pohon itu!" teriak ibunya dari bawah pohon.

Mamle yang mendengar panggilan tersebut segera menjatuhkan kapak batunya dan melompat turun dari pohon tinggi itu. Benar-benar ajaib. Dari pohon yang sangat tinggi itu, Mamle tidak terluka sedikit pun. Dari situlah ibunya mulai mengetahui bahwa Mamle memiliki kesaktian yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Tahun telah berganti, Mamle tumbuh menjadi pria dewasa. Suatu hari, Mamle membangun sebuah bol taro (rumah pesta tari). Setelah selesai membangun, ia mengundang orang dari berbagai daerah untuk menghadiri pestanya. Di antara tamu-tamu yang hadir, terdapat dua orang wanita dari suku Sandrafe yang jatuh hati kepada Mamle. Kedua gadis itu adalah anak paman Mamle yang tinggal di Sandrafe. Akan tetapi para tetua mereka melarang kedua gadis itu berhubungan dengan Mamle.

Entah apa yang terjadi, ketika itu pula Mamle dikejar oleh para lelaki peserta tari untuk dibunuh. Mamle pun segera melarikan diri. Sewaktu Mamle berlari, ia melihat pohon enau. Lalu , ia menyadap pohon tersebut menggunakan bambu kecil. "Tuak ini dapat membuat para pengejar itu mabuk," pikir Mamle.

Tidak berapa lama, para pengejar tersebut sampai di tempat Mamle. Dengan tenang Mamle berkata, "Saudara-saudaraku, aku siap dibunuh oleh kalian. Tapi aku tahu kalian sangat kehausan. Lebih baik kalian minum dulu tuak ini," ucap Mamle.

Tanpa rasa curiga, pemuda-pemuda itu pun meminum tuak pemberian Mamle. Dan ketika tuak itu hampir habis, Mamle menepuk bagian bawah bambu tersebut sambil mengucapkan mantra. Ajaib. Bambu itu kembali terisi dengan tuak. Para pengejar Mamle semakin lama semakin mabuk. Tanpa ingin melewatkan kesempatan baiknya, Mamle mengeluarkan kesaktiannya. Ia membuat sebuah jurang yang sangat curam.

Ketika para pengejar kembali tersadar, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena di sekitar mereka terdapat jurang yang sangat terjal. Berkat kecerdasannya itu, Mamle berhasil lolos dari para pengejarnya.

Setelah peristiwa tersebut, Mamle diundang seseorang untuk membantu membuka ladang. Namun, Mamle datang terlambat. Orang-orang yang ketika itu juga ikut membantu membuka ladang merasa kelelahan. Kemudian, mereka beristirahat. Mamle yang baru datang segera membuat api dan dengan sebelah tangannya menebang pohon. Ia menarik kayu-kayu itu sehingga tertata dengan rapi dan akhirnya dibakar hingga habis. Ladang pun siap ditanami. Orang-orang yang melihat hal itu sangat takjub melihat cara kerja Mamle yang cerdik.

Suatu hari, Mamle mengunjungi bibinya di Meybat yang sedang mengadakan upacara pernikahan dengan orang Sawiat. Di tengah perjalanan, ia mengangkat dua buah gunung, Gunung Yilo dan Gunung Tless. Gunung itu diikat dengan menggunakan tali dlimit dan kemudian diapit kedua tangannya. Tempat bekas kedua gunung tersebut kemudian membentuk dua telaga dengan airnya yang berwarna biru. Di dalamnya hidup berbagai ikan air asin.

Setelah sampai di dekat Meybat, Mamle mengikatkan kedua gunung tersebut di sebuah pohon kara. Tidak berapa jauh dari tempat itu, tampak sebuah ladang yang baru dibuka. Perut Mamle pun terasa lapar. Kemudian, ia meminta makan kepada orang yang berada di tempat itu. Tapi, bukanlah makanan yang ia dapatkan, melainkan celaan dan hinaan. Akhirnya ia melanjutkan perjalanannya menuju rumah bibinya. Di sana, Mamle mendapatkan makanan. Ia pun segera melahapnya.

Setelah bertemu dengan sang bibi, perjalanan pun dilanjutkan. Ia mengambil kembali kedua gunung yang ia ikatkan di pohon kara dan meletakkannya di sebuah ladang baru milik orang-orang dusun.

Pada suatu hari, ibu Mamle menderita sakit keras. Namun, tidak ada seorang pun yang menjenguk ibunya. Mamle tidak mampu berbuat apa-apa. Sampai akhirnya ajal sang ibu menjemput, tidak ada seorang pun yang melayat. Kini, tidak ada seorang pun yang menemaninya dalam suka maupun duka. Tiga hari kemudian Mamle mengadakan upacara berkabung. Kali ini tidak ada seorang pun yang turut hadir.

Selesainya upacara tersebut, Mamle meninggalkan daerah pegunungan menuju daerah landai. Ia mencoba menjalin hubungan dengan masyarakat Kabra. Kejadian-kejadian menakjubkan yang dibuat oleh Mamle pun masih dapat terlihat seperti ketika ia ingin makan sesuatu. Hanya dengan mengatakan keinginannya maka semua siap berada di hadapannya.

Berbagai peristiwa dalam kehidupannya membuat ia mulai memahami arti hidup. Di hari senggangnya, ia pergi ke Srit untuk mengajar kebajikan. Ia datang ke daerah tersebut menggunakan dua buah batu datar yang dijadikannya sebagai alas kaki. Konon, dua buat batu datar tersebut masih ada hingga sekarang.

Pesan moral:
Kisah ini mengajarkan kita agar dapat mengambil pelajaran dari apa yang kita alami. Kelebihan yang kita miliki adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus kita syukuri dan menjadikan kelebihan itu bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selain itu, walaupun kita memiliki kelebihan, jangan melupakan orang tua kita. Sebagai anak kita harus terus selalu menyayangi orang tua kita sampai kapanpun. Kita juga harus sabar dalam menghadapi kesulitan dalam hidup kita.

Tags cerita kisah rakyat legenda sastra edukasi budaya tradisi dongeng anak siswa literasi fiksi murid
Referensi:
  1. Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
    Oleh: Sumbi Sambangsari
    Penerbit: Wahyumedia

Artikel Terkait:




Semua Komentar
    Belum ada komentar
Tulis Komentar