
Dibangun 300 tahun lebih dulu dibanding Angkor Wat di Kamboja, Candi Borobudur telah mengalami banyak hal, mulai dari dibangun, ditemukan dalam bentuk reruntuhan tertimbun tanah, dipugar beberapa kali, hingga akhirnya pada tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO.
Menilik sejarahnya, Candi Borobudur dibuat pada masa kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin dinasti penganut agama Buddha bernama Wangsa Syailendra. Berdasarkan tuturan masyarakat, arsitek candi adalah Gunadharma. Pembangunan candi selesai pada tahun 847 M. Terletak di Desa Bumisegoro, tak jauh dari kota Magelang, di sebuah bukit antara Bukit Dagi dan sebuah bukit kecil lainnya, serta di sebelah selatan Bukit Menoreh. Sekitar 2 km ke arah timur, terdapat pertemuan dua sungai, yaitu Sungai Progo dan Elo. Dilihat secara letaknya, Candi Borobudur berdiri di atas sebuah bukit.
Nama Borobudur diketahui pertama kali dari naskah “Negarakertagama” karya Empu Prapanca tahun 1365 M dengan penyebutan tentang biara di Budur. Pembangunan Borobudur juga disebutkan dalam prasasti Karangtengah dan prasasti Kahulunan. Dikisahkan bahwa pembangunan Borobudur membutuhkan waktu kurang lebih setengah abad.
Dimulai di masa pemerintahan Raja Samaratungga pada Tahun Caka 746 atau tepatnya 824 Masehi, dan selesai pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani. Dalam prasasti Karangtengah disebutkan, Borobudur dan daerah sekitarnya dibangun di atas tanah Sima (tanah bekas pajak). Sehingga masyarakat yang tinggal dekat candi tersebut tidak dibebankan pajak kerajaan, namun diberi tugas untuk memelihara candi Borobudur.
Kemudian, pada naskah “Babad Tanah Jawi” (1709-1710), ada cerita tentang Mas Dana, pemberontak pada masa Raja Pakubuwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Pada 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran Yogyakarta, yaitu Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Baca Juga:
Prasasti Karangtengah sebenarnya bernama prasasti Kayumwungan, merupakan sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan di Dusun Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah.
Untuk arti nama borobudur sendiri, terdapat beberapa pendapat berbeda. Pendapat yang pertama mengatakan Borobudur berasal dari dua kata, yaitu Bhara dan budur. Bhara berari asrama atau biara. Sedangkan Budur berasal dari Bahasa Bali “Beduhur”, yang artinya di atas. Bila diterjemahkan berarti biara yang terdapat di atas bukit.
Lalu Seorang sejarawan yang mengabdikan dirinya unuk meneliti Borobudur, bernama J.G. de Casparis, mengatakan bahwa nama asli Borobudur adalah “Bhumi Sambhara Bhudhara”, dari bahasa sansekerta yang berarti “Bukit Himpunan Kebajikan Sepuluh Tingkatan Boddhisattwa”.
Namun, pendapat lain mengatakan nama candi ini berasal dari kata yang terdapat dalam Prasasti Karang Tengah, yaitu Bhumibharambarabhudhara.
Arti dari kata Bhumibharambarabhudhara sendiri adalah tempat pemujaan nenek moyang untuk arwah para leluhur. Karena pengucapan masyarakat setempat kata tersebut bergeser menjadi Borobudur.
Pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang bukit yang dipenuhi dengan batu berukir. Berdasarkan berita itu, Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Saat pertama kali ditemukan, bangunan candi tertutup oleh gundukan tanah dan ditumbuhi semak belukar, dengan relief yang berserakan di sekitar candi.
Para ahli memperkirakan, candi Borobudur terkubur oleh lahar dingin akibat letusan gunung Merapi. Setelah dibersihkan dua bulan dengan dibantu 200 orang penduduk, bentuk bangunan candi makin jelas terlihat. Dia lantas menuliskan laporan temuannya itu lewat buku The History of Java pada 1817. Dan lewat buku itu pula nama Borobudur pertama kali dituliskan.
Pada 1834, Residen Kedu membersihkan Candi kembali dan tahun 1842, stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut. Sampai saat ini Candi telah mengalami dua kali pemugaran. Pemugaran pertama di tahun 1907 – 1911 oleh Theodorus Van Erp pada masa kolonial Belanda, dan yang kedua di tahun 1973 – 1983 oleh Presiden Soeharto dibantu Unesco.
Kini Candi Borobudur masih menyimpan beberapa misteri. Bayangkan saja, pada masa 800 M, dibangun susuan batu seperti itu, bagaimana cara mengangkut batu dari daerah asal hingga ke tujuan? Berapa lama proses pemotongan batu-batu itu hingga tercapai ukuran yang dikehendaki?
Bagaimana cara menaikkan batu-batu dari dasar halaman candi hingga ke puncak? Alat derek apa yang digunakan? Gambar relief yang ada, apakah dibuat sebelum atau sesudah batu dipasang? Banyak sekali misteri yang belum terungkap.
Seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, berpandangan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolitikum dan Megalitikum. Pada zaman Megalitikum mereka membuat makam-makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun. Semakin ke atas, semakin kecil. Jika dilihat dari kejauhan seperti susunan bangunan berundak atau piramida. Berbeda dengan piramida di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko, candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida.
Piramida Borobudur berupa kepundan berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India.
Artikel Terkait: