
Dahulu, dikisahkan tentang seorang anak yang malang. Ia hidup bersama dengan ibunya yang miskin. Mereka hanya memiliki rumah gubuk dan seekor kerbau peninggalan ayahnya yang telah lama meninggal dunia. Meskipun demikian, anak malang itu memiliki kesaktian yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Anak tersebut selalu kesepian. Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengannya karena tubuhnya yang kudisan. Jika ia bermain, teman-temannya selalu mengejeknya. Hinaan dan caci maki sering ia dapatkan meskipun hal itu sangat menyakitkan hati.
Suatu hari, anak itu bermain bersama tiga temannya. Sambil menggembala kerbau, mereka bermain ke dalam hutan. Ketika kerbau-kerbau memakan rumput hutan, anak-anak pun bermain di pohon jambu. Saat itu, pohon jambu di hutan berbuah sangat banyak. Buahnya pun manis-manis. Mereka terlihat sangat senang. Semua pohon jambu di hutan satu demi satu mereka panjat. Begitu pun halnya dengan si anak kudisan yang ketika itu terlihat senang.
Si anak kudisan itu pergi ke sebuah pohon jambu yang buahnya lebih banyak dan manis dibandingkan dengan pohon lainnya. Ketiga temannya yang ketika itu juga sibuk memanjat dan memetik jambu tampak iri melihat anak kudisan itu mendapatkan hasil yang besar-besar dan ranum.
"Hei teman-teman, lihat si anak kudisan itu! Dia mendapatkan jambu yang besar-besar dan matang. Pasti buahnya sangat manis," kata salah seorang dari ketiga anak gembala itu.
Ketika anak kudisan itu hendak menghampiri salah seorang temannya untuk memberi jambu yang dipetiknya, ia hanya mendapatkan cacian. "Hei anak kudisan, jauh-jauhlah dariku. Aku tidak mau tertular penyakitmu!"
"Iya, pergilah kau bermain ke tempat yang lain. Jangan mengikuti kami!" ucap anak lainnya.
"Pergi sana!" teriak anak lainnya lagi.
Mereka melempari anak kudisan dengan jambu. Betapa sedih hati anak kudisan itu. Ia hanya mampu terdiam ketika teman-temannya mengejek dan melemparinya dengan jambu. Tidak berapa lama kemudian, hujan turun dengan deras. Anak kudisan itu berlari dengan cepat mencari tempat berteduh.
"Ah...syukurlah. Disana ada gua. Aku bisa ke sana untuk berteduh," pikirnya.
Karena udaranya yang dingin, anak kudisan itu tertidur di dalam gua. Ternyata, ketiga temannya yang menghina tadi juga berlari-lari mencari tempat berteduh. Mereka pun memasuki gua yang sama dengan si anak kudisan. Ketiga anak itu sangat terkejut melihat si anak kudisan sudah berada di dalam gua dan tertidur lelap sambil mendengkur.
"Hei, bangun! Dasar anak kudisan. Kami mau berteduh sambil tiduran di sini. Jadi lekas kau pergi dari sini. Kami tidak mau tertular penyakitmu," seru ketiga anak gembala.
Dengan berurai air mata, si anak kudisan keluar dari gua. Hatinya sangat sakit mendengar hinaan, cacian, maupun pengusiran dari ketiga temannya. Ia pun berteduh di bawah pohon. Kerbaunya yang ia tinggalkan tadi juga sedang tertidur pulas di bawah pohon yang sangat besar. Sambil duduk merenung di bawah pohon, anak kudisan itu memukul-mukulkan ujung sabitnya ke tanah. Tiba-tiba saja gua yang tadi ia tinggalkan runtuh seketika. Ketiga temannya yang jahat tidak sempat melarikan diri. Mereka akhirnya terkubur di dalam gua. Anak kudisan itu bergegas melapor kepada penduduk desa.
Mendengar laporan tersebut, penduduk desa segera berlari ke hutan untuk menyelamatkan ketiga anak gembala itu. Sampai lewat tengah malam, ketiga anak gembala tersebut belum juga ditemukan. anak kudisan itu dipersalahkan karena ketiga temannya tidak terselamatkan. Selain itu, ia juga menjadi sasaran pertanyaan dari warga desa yang melakukan pencarian.
Esok paginya, para warga mencari ketiga anak gembala tersebut di dalam reruntuhan gua. Mereka menggunakan linggis dan cangkul. Satu demi satu bongkahan-bongkahan batu besar dapat disingkirkan.
"Prak," cangkul dihujamkan ke reruntuhan gua. Tapi, tiba-tiba ada noda darah yang melekat pada cangkul tersebut ketika diangkat. Semua warga yang melakukan pencarian sangat terkejut.
"Wah...jangan-jangan cangkul itu melukai ketiga anak yang kita cari!" teriak salah satu warga.
"Tidak. Aku juga menemukan ceceran darah di sini. Sepertinya, nodanya sudah lama," sanggah warga lainnya.
Warga desa kemudian melanjutkan pencarian. Namun, tidak berapa lama, runtuhan gua tersebut bergerak. Dari dalam runtuhan terdengar suara desisan. Semua warga yang sedang menggali terkejut dan segera melarikan diri.
"Suara apa itu ya? Wah, jangan-jangan ular raksasa?"
"Aku dengar gua di sini ditunggui oleh seekor ular raksasa yang usianya sudah ribuan tahun. Ia bertapa di dalam gua. Karena terlalu tua, ia sudah tidak dapat berjalan lagi. Mulutnya yang besar itu selalu terbuka lebar sehingga menyerupai mulut gua. Hal ini dilakukan untuk menjebak mangsanya
"Iya, aku juga pernah mendengar cerita itu," balas warga lainnya.
Benar saja, ketika warga desa kembali ke reruntuhan gua tersebut, mereka melihat sosok ular raksasa yang telah mati dengan bersimbah darah. Dengan perasaan yang masih ketakutan, mereka melanjutkan pencarian ketiga anak hilang itu.
"Mungkinkah anak-anak itu dimakan oleh ular raksasa ini? Jika benar, pastinya mereka sudah mati di dalam perut ular raksasa ini," ucap warga.
"Tapi, bagaimanapun juga, hidup atau mati, anak-anak itu harus kita temukan," ucap warga lainnya.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita potong-potong saja ular raksasa ini. Jadi kita akan mengetahui apakah ketiga anak itu telah dimakan atau tidak!" usul kepala desa.
Mendengar hal itu, semua warga setuju. Warga yang membawa peralatan potong seperti golok maupun sabit segera membelah isi perut ular raksasa. Dugaan warga tidak meleset, ketiga anak yang mereka cari ternyata berada dalam perut ular raksasa. Orang tua ketiga anak itu sangat sedih melihat anak mereka sudah menjadi mayat. Tapi, warga desa lainnya sangat bahagia karena mereka mendapatkan daging ular yang sangat banyak.
Dua hari kemudian, kepala desa mengundang seluruh warga desa untuk berpesta bersama menyantap hidangan daging ular raksasa yang mereka temukan. Semua warga berkumpul di halaman kantor kepala desa.
Ketika acara tersebut berlangsung, beberapa anak tampak ramai meributkan sesuatu. Ternyata, si anak kudisan datang ke pesta itu. Kedatangan si anak kudisan benar-benar tidak diharapkan. Mereka mencaci maki, mengusirm dan memukulinya.
Betapa remuk dan sakit hati si anak kudisan. Akhirnya,ia pergi ke sebuah gubuk tua. Di sana, tinggal seorang nenek tua yang sakit-sakitan. Si anak kudisan itu sudah sangat lapar. Ia hendak meminta makanan sekedarnya untuk mengganjal perut yang sudah sejak tadi berbunyi.
"Permisi, Nek. Bolehkah aku meminta sedikit makanan? Aku sudah sangat lapar," pinta si anak kudisan.
"Mengapa kau tidak datang saja ke kantor kepala desa? Bukankah di sana sedang ada pesta?" tanya sang nenek.
"Aku sudah datang. Tapi, mereka mengusir dan memukuliku," jawab anak itu dengan sedih.
"Kalau begitu, masuklah! Nenek akan ambilkan makanan untukmu. Sepertinya masih ada sedikit nasi dan sayur di dapur." "Terima kasih, Nek."
Nenek yang baik hati itu menyajikan nasi dan sayur untuk si anak kudisan. Anak itu makan dengan lahapnya. Perutnya yang kosong, kini sudah terisi lagi. Ia sangat berterima kasih kepada si nenek.
"Nek, terima kasih untuk semuanya. Aku hanya bisa berpesan, jika nanti nenek mendengar jeritan dari kantor kepala desa, nenek harus segera mengambil centong nasi dan duduk di atas lesung. Sebentar lagi akan ada banjir besar. Jangan lupa pesanku ya, Nek."
Tiba-tiba saja si anak kudisan menghilang dari hadapan si nenek. Ternyata, anak itu sudah berada di halaman kantor kepala desa.
"Hei, untuk apa kau datang ke sini lagi? Tidak ada makanan untukmu!" ucap salah seorang warga desa.
"Tenang saja. Aku sudah tidak lapar lagi. Seorang nenek yang baik hati telah memberi aku makanan. Untuk memeriahkan pesta ini, aku hanya ingin sekedar bermain dengan kalian."
Anak itu kemudian mengambil sebatang lidi. Ia menancapkan lidi itu ke tanah. "Nah, siapa yang bisa mencabut lidi ini, aku bersedia dijadikan budaknya."
"Apa kau tidak asal bicara? Hanya sebatang lidi? Baiklah kalau begitu, aku akan mencabut lidi ini. Bersiaplah menjadi budakku," kata salah seorang diantara warga.
Dengan santai, orang tersebut mencoba mencabut batang lidi dari tanah. Tapi, lidi itu tidak bergerak sedikitpun. Orang itu kini mencoba menarik menggunakan kedua tangannya. Seluruh tenaga ia keluarkan, lidi itu tetap masih tertancap di tanah. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia menyerah juga.
"Ayo, siapa lagi yang hendak mencoba?" tantang anak kudisan.
"Coba, aku saja yang mencabutnya. Masa sebatang lidi saja tidak kuat."
Orang kedua pun mencoba mencabut lidi itu. Dari sedikit tenaga yang ia keluarkan sampai harus mengeluarkan tenaga lebih, lidi itu tetap di posisinya. Tidak berubah sedikitpun. Karena penasaran, banyak orang yang mencobanya. Tapi, tetap saja tidak ada yang berhasil mencabut lidi itu.
"Baiklah. Jika kalian semua tidak mampu mencabut lidi ini, biar aku saja yang melakukannya," ucap anak kudisan itu.
Dengan mudah, ia mencabut lidi dari tanah. Awalnya dari lubang bekas lidi tersebut, keluar mata air yang kecil. Tapi lama-kelamaan air itu semakin besar dan semakin besar. Semua warga desa yang berkumpul di pesta itu menjerit dan lari berhamburan. Anak kudisan itu pun lenyap begitu saja tanpa ada yang tahu ke mana ia pergi.
Mendengar jeritan warga dari arah kantor kepala desa, sang nenek yang ingat akan pesan si anak kudisan segera mengambil centong nasi dan lesung. Benar saja, tidak berapa lama muncul banjir besar yang menenggelamkan seluruh desa. Tidak ada seorang pun yang berhasil selamat kecuali sang nenel yang baik hati.
Konon desa itu pun berubah menjadi sebuah danau yang luas dan berair jernih dan diberi nama Rawa Pening. Danau Rawa Pening dapat kita jumpai di daerah dekat Ambarawa.
Pesan Moral:
Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun tanpa melihat dari penampilannya. Bisa jadi, mereka akan menjadi penolong kita di kemudian hari. Selain itu, biasakanlah untuk selalu hidup bermasyarakat dan saling tolong menolong.
Baca Juga:
Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Oleh: Sumbi Sambangsari
Penerbit: Wahyumedia
Artikel Terkait: