
Pong Tiku lahir pada 1846 di Pangala, Toraja, Sulawesi Selatan. Ayahnya adalah seorang pemimpin spiritual. Semenjak usia belia Pong Tiku sudah diajarkan untuk menjadi seorang pemimpin. Ketika terjadi Perang Kopi pada 1898, beliau langsung memimpin peperangan melawan Pasukan Bone. Disebut perang kopi karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di sekitarnya.
Sejak itu, beliau berpikir untuk memperkuat pertahanan daerahnya dengan kekuatan militer. Kopi, yang merupakan produk pertanian utama Toraja, ditukarkan dengan senjata. Persiapan ini sangat membantu beliau saat menghadapi ekspedisi militer Belanda pada 1905.
Beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti Kerajaan Bone, Gowa, dan Datu Luwu berhasil ditaklukkan Belanda. Komandan Militer Belanda di Palopo, ibu kota Luwu mengirim surat kepada Pong Tiku agar menyerahkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda. Namun, Pong Tiku menolaknya. Belanda semakin sulit menembus Benteng Pong Tiku yang sengaja dibangun di atas bukit-bukit karang yang terjal. Salah satu benteng yang terkenal adalah Buntubatu. Perdamaian yang ditawarkan Belanda itu pun ditolak oleh Pong Tiku.
Penolakan itu mengakibatkan pecahnya perang antara Belanda dan pasukan Pong Tiku. Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke Pangala pada tanggal 12 Mei 1906, namun serangan itu gagal. Begitu juga serangan Belanda berikutnya terhadap benteng Buntuasu di awal Juni 1906, berakhir dengan kegagalan.
Setelah dua kali gagal, Belanda kemudian menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Belanda juga menerapkan blokade untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong Tiku.
Dalam menggadapi serangan Belanda, pasukan Pong Tiku memanfaatkan kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-bukit. Ketika pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng, batu-batu berukuran besar digelindingkan untuk mengusir pasukan Belanda. Tidak hanya itu, air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding benteng. Namun, Belanda memiliki bekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap sehingga menyebabkan peperangan berjalan tak seimbang.
Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian, gempuran meriam Belanda yang dilakukan secara bertubi-tubi akhirnya merusak bangunan benteng. Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan Oktober 1906.
Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata. Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan benteng Buntubatu.
Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng tersebut meski pun masa gencatan senjata belum berakhir. Belanda akhirnya bisa merebut Benteng Buntubatu dan berhasil menguasainya. Pong Tiku kemudian pindah bermarkas di Benteng Alla.
Pada 12 Maret 1907, benteng ini diserang oleh Belanda, tetapi Pong Tiku berhasil melarikan diri. Pada 10 Juni 1907, setelah berpindah dari satu daerah ke daerah lain, Pong Tiku tertangkap pasukan Belanda.
Belanda memaksa Pong Tiku menandatangani surat pernyataan kedaulatan Belanda atas Pangala. Pong Tiku menolaknya dan Belanda menembak mati Pong Tiku di tepi sungai Sa'dan. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada 6 November 2002Pong Tiku alias Ne'baso, sesuai Keppres No.073/TK/2002, pemerintah menganugerahi Pong Tiku gelar pahlawan nasional.
Artikel Terkait: