
Suku Biak sudah dikenal sejak dulu dalam kemampuannya menjelajah lautan. Ini ditunjukkan dengan keberadaan keturunan suku Biak ke berbagai daerah di Papua dan luar Papua yang tersebar di Maluku, Raja Ampat dan sepanjang pesisir Papua, bahkan juga di Makassar. Persebaran Suku Biak ini didukung oleh kehebatan nenek moyang mereka dalam menjelajah lautan, dalam hal ini tidak terlepas dari faktor perahu yang digunakan.
Suku Biak mampu membuat perahu-perahu berbagai ukuran dan bentuk sesuai kegunaannya. Salah satu jenis perahu yang digunakan adalah perahu yang disebut Wai Mansusu. Perahu yang dikenal dengan sebutan Mansusu ini merupakan jati diri orang Biak, karena telah dijadikan sebagai perahu untuk berperang sejak abad ke-15. Kata "Mansusu" sendiri bermakna maju dan mundur. Ini dimaknai oleh para leluhur sebagai kemampuan untuk menghadapi musuh dari segala arah.
Perahu ini adalah perahu muatan, namun dapat juga dipakai sebagai perahu perang antar daerah dan antar pulau. Ciri khas perahu ini adalah bentuk muka dan belakang perahu sama. Haluan dan buritan perahu Mansusu memang sengaja dibuat sama bentuk dan rupanya. Ini bukan tanpa tujuan, sesuai namanya perahu ini dibuat demikian agar mudah bergerak maju dan mundur dengan mudah.
Karena haluan dan buritan berbentuk sama, Mansusu dapat digerakkan ke dua arah, depan atau belakang, sehingga ketika terjadi perang atau terdesak dalam medan perang, para pendayung tidak perlu bersusah payah memutar perahu untuk meninggalkan medan perang, mereka cukup membalikkan badan saja dan mendayung mundur perahu itu. Karena fleksibilitasnya itu, Mansusu sesuai untuk digunakan dalam peperangan di masa lalu.
Ciri lain perahu Mansusu adalah ukurannya besar sesuai dengan fungsinya dan mampu mengangkut hingga 40 orang pendayung Perahu ini dilengkapi dengan cadik, layar, rum dan Kamboi Daum yaitu sandaran untuk para pendayung. Untuk ukuran perahu tergantung kebutuhan, tapi umumnya berukuran 6-12 meter.
Menurut kebiasaan jaman dulu masyarakat Biak di pesisir, perahu ini digunakan untuk menjangkau lokasi perang. Sebelumnya, di desa mereka diadakan wor mamun atau nyanyian perang oleh sekelompok warga. Wor mamun sendiri dibawakan dengan tari-tarian serta tabuhan tifa, alat musik tradisional Papua. Tak lama berselang, tetua adat memberi arahan. Perang harus dihadapi dengan gagah berani.
Wor mamun ini sebenarnya adalah lagu untuk mengobarkan semangat juang. Syair-syairnya pun berisi dukungan dan pesan moral agar tak sedikitpun gentar menghadapi lawan. Spirit juang terus disuarakan sepanjang wor mamun didendangkan. Sebelum berangkat, tetua adat atau panglima perang akan memberi wejangan. Jangan bercerai-berai. Siapkan semangat kita, fisik kita, dan perahu kita untuk berperang.
Artikel Terkait: