
Kebiasaan menggunakan sebutan atau gelar di depan nama orang itu merupakan tradisi kerajaan sejak dulu. Gelar diberikan sebagi bentuk penghormatan atas jabatan atau status orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga raja. Demikian pula di Aceh. Dari catatan sejarah, kerajaan yang terakhir ada di Aceh adalah Kesultanan Aceh Darussalam. Raja pertama Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah, yang diangkat pada 8 September 1507.
Kesultanan Aceh sebenarnya sudah ada sejak tahun 1496, namun ketika itu statusnya masih berada di bawah Samudera Pasai. Setelah mengambil alih wilayah Samudera Pasai pada 1524, Kesultanan Aceh berubah menjadi penguasa baru di wilayah Aceh. Pusat pemerintahan Kesultanan Aceh berada di Kutaraja, atau yang sekarang dikenal dengan Banda Aceh.
Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yang memerintah pada 1607 sampai 1636. Nama aslinya adalah Pangeran Perkasa Alam. Ketika diangkat menjadi raja yang ke-14, ia mendapat gelar Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kesultanan Aceh berakhir sekitar 300 tahun kemudian, ketika Belanda akhirnya berhasil menguasai seluruh wilayah Aceh setelah Sultan Muhammad Daud menyerah pada 1903. Walaupun kini tidak ada lagi kerajaan seperti dulu, tapi adat, tradisi, dan budayanya masih tersisa, contohnya pada soal penggunaan gelar seperti berikut ini.
1. Cut
Cut adalah salah satu gelar kebangsawanan di Aceh yang diperuntukkan untuk kaum perempuan. Gelar ini diturunkan sampai ke anak cucunya jika perempuan bangsawan tersebut menikah dengan laki-laki dari kalangan bangsawan juga, yang lazim disebut dengan Teuku.
2. Meurah
Meurah adalah gelar raja-raja di Aceh sebelum datangnya agama Islam. Dalam bahasa Gayo disebut Marah, seperti Marah Silu yang merupakan pendiri kerajaan Samudera Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Setelah datangnya agama Islam, setiap raja Aceh berganti gelar menjadi Sultan.
Baca Juga:
3. Teuku
Teuku adalah gelar ningrat atau bangsawan untuk kaum pria suku Aceh yang memimpin wilayah nanggroe atau kenegerian. Teuku adalah seorang hulubalang atau ulee balang dalam bahasa Acehnya. Sama seperti tradisi budaya patrilineal lainnya, gelar Teuku dapat diperoleh seorang anak laki-laki, bilamana ayahnya juga bergelar Teuku. Seorang Teungku dapat pula berubah menjadi Teuku, apabila ia dialihkan dari jabatan keagamaan ke jabatan pemerintahan atau sebaliknya. Ada juga yang memakai 2 gelar sekaligus, misalnya Teungku Chik atau Teuku Pakeh. Chik dan Pakeh berarti Teuku. Istilah Ampon diberikan kepada mereka yang peranan atau jabatannya lebih menonjol dari Teuku-Teuku lainnya, gelar ini juga diturunkan. Banyak kekeliruan serta kesalah pahaman rakyat Indonesia dalam melafalkan atau menulis nama-nama tokoh Aceh, contohnya kesalahan dalam membedakan siapa yang Teuku dan Teungku, contoh:
4. Teungku
Teungku di Aceh, menurut Snouck Hurgrunje (1985), dipergunakan untuk beberapa kriteria.
Pertama, sebutan untuk para leube atau leubei (lebai atau santri). Sebutan untuk kategori ini, juga termasuk untuk golongan yang bukan ulama, namun ia tekun melakukan ibadah maupun seorang haji yang telah menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah.
Kedua, panggilan untuk orang malem. Malem berasal dari bahasa Arab, asal kata mualim, yang artinya guru. Orang yang disebut malem, memiliki pengetahuan mengenai kitab-kitab keagamaan, kalau di gampong-gampong umumnya kitab kuning. Teungku juga diperuntukkan bagi seorang alem (asal kata alim, bahasa Arab, berarti orang yang berilmu) yang telah melengkapi pendidikan agamanya.
Ketiga, panggilan teungku juga diperuntukkan untuk pria dan wanita yang memberi pengajaran dasar mengaji Al-Qur’an, baik di meunasah maupun di dayah. Biasanya, pengajaran dasar mengaji Al-Qur’an di gampong-gampong dilaksanakan sejak habis dzuhur sampai ashar, dan habis ashar sampai magrib.
Keempat, teungku juga dimaksudkan sebagai panggilan untuk kadhi (kali) yang bertindak sebagai hakim agama dalam wilayah uleebalang. Sebutan terakhir ini sudah jarang ditemui, kecuali beberapa orang yang sudah cukup tua, yang memang pernah menjadi hakim agama masa dahulu.
5. Laksamana
Laksamana adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu, yaitu panglima tertinggi di laut. Seperti halnya digunakan pada masa Sultan Iskandar Muda (1593-1636), di Kesultanan Samudera Pasai (Aceh) yang memiliki seorang panglima angkatan laut perempuan bernama Laksamana Malahayati. Hang Tuah, yang diduga berasal dari Kepulauan Riau, dihikayatkan dalam Sastra Melayu menjadi seorang laksamana di Kerajaan Malaka pada abad ke-14.
6. Panglima sagoe
Panglima sagoe adalah gelar yang diberikan kepada orang yang meneruskan pemerintahan jika raja meninggal ketika anak raja masih kecil. Panglima sagoe diikuti angka, karena gelar ini diurut dari masa ke masa.
7. Pocut
Pocut adalah gelar untuk keturunan bangsawan yang diperuntukkan bagi kaum wanita. Sama halnya dengan Teuku, gelar Pocut ini bersifat turun temurun. Seorang anak perempuan diberi gelar Pocut apabila ayahnya memiliki gelarTeuku.
8. Uleebalang
Uleebalang adalah gelar raja peninggalan sistem monarki yang sempat digunakan di Aceh selama berabad-abad. Para Ulee Balang menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh dan disahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh, melalui surat pengangkatan atau sarakata dan telah dibubuhi stempel Cap Sikureung yang merupakan stempel resmi Kerajaan Aceh. Kini, keturunan uleebalang diberi gelar Teuku untuk laki-laki dan Pocut untuk perempuan.
9. Syarifah
Syarifah merupakan salah satu gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan bagian dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib.
Untuk keturunan wanita mendapatkan gelar berupa Syarifah atau ada juga yang menyebutnya Sayyidah, Alawiyah atau Sharifah. Gelar Syarifah juga banyak kita temui di Aceh dan hampir di setiap kabupaten kota di Aceh.
Artikel Terkait: