
Berlokasi tidak jauh dari pusat Kota Baubau, sekitar tiga kilometer, terdapat Benteng Keraton Buton merupakan salah satu objek wisata bersejarah yang menarik di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinding-dindingnya masih terawat baik. Benteng ini sebetulnya merupakan kawasan bekas ibu kota Kesultanan Buton.
Konsep bangunannya menarik, memiliki bentuk arsitek yang cukup unik, karena terbuat dari batu-batuan yang tersusun rapi sehingga membentuk dinding yang tinggi dan tebal. Ukuran dinding benteng bervariasi, tinggi 1 sampai 8 meter dan ketebalan 50 cm hingga 2 meter. Konon, pembuatan benteng ini tidak menggunakan semen, melainkan menggunakan campuran pasir, kapur, dan putih telur sebagai perekat batu-batuan itu.
Hebatnya, bangunan ini tetap berdiri tegak setelah ratusan tahun lamanya. Dengan kondisi yang masih baik dan memiliki nilai sejarah yang tinggi, benteng bersejarah ini termasuk dalam 10 Destinasi Wisata Andalan Sulawesi Tenggara.
Keistimewaan lain benteng ini adalah luasnya. Keliling benteng mencapai panjang 2.740 meter.
Benteng Keraton Buton pun mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia, dengan luas sekitar 23,375 hektare.
Terletak di puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup terjal menjadikan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng tampak pemandangan menakjubkan Kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian. Sangat strategis untuk memantau situasi laut di sekitarnya. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan bersejarah Kesultanan Buton.
Terdapat beberapa benteng kecil di bagian dalam yang dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia. Masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Seperti Benteng Sorawolio yang berfungsi sebagai pertahanan dan Benteng Baadia yang berfungsi sebagai pengintaian. Selain itu, ada satu area tandus di bagian barat bernama Katobengke yang berfungsi sebagai eksekusi bagi para musuh.
Pembangunan Benteng Keraton Buton dimulai pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596). Semula, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi komplek istana dengan tujuan untuk mambuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Benteng yang dibangun pada tahun 1613 ini, didirikan sebagai benteng pertahanan dan juga menjadi pusat peradaban masyarakat Buton saat menghadapi penjajah Portugis, selain melindungi diri dari serangan bajak laut.
Di masa kejayaannya, keberadan Benteng Keraton Buton memberi pengaruh besar terhadap eksistensi Kesultanan Buton. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh.
Benteng ini memiliki tiga bagian penting, yaitu Badili, Lawa, dan Baluara.
1. Badili (Meriam)
Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Bau-Bau.
2. Lawa
Dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton.
Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia.
Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran 'na' menjadi 'lawana'. Akhiran 'na' dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik "nya". Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 lawa itu memiliki nama-nama lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu, lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu.
3. Baluara
Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (Sultan Buton IV) bersamaan dengan pembangunan 'godo' (gudang).
Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak di atas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton.
Ke-16 baluara itu adalah baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.
Tiap pintu gerbang dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Di dalam kompleks benteng ada makam Sultan Buton yang memerintah tahun 1788-1791. Ada juga Masjid Agung Wolio atau Masjid Al Muqarrabin Syafyi Shaful Mumin. Di depan masjid terdapat tiang bendera yang usianya mencapai 300 ratus tahun. Tiang yang berdiri di samping masjid Keraton Buton tersebut merupakan tempat mengibarkan bendera Kesultanan Buton dan saat ini tiang sudah berusia sekitar 300 tahun.
Tiang bendera didirikan diabad ke-17 tepatnya pada 1721 di masa Sultan Sakiuddin Darul Alam untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton berbentuk segi tiga yang dalam bahasa setempat disebut longa-longa. Tiang bendera ini disebut juga dengan nama Kasulaana Tombi terbuat dari kayu jati. Tingginya 21 meter dengan area keamanan berdiameter sekitar 25 sampai 70 cm.
Peninggalan lainnya adalah sebuah jangkar raksasa milik kapal VOC yang karam ditahun 1592. Menurut cerita, setelah menaklukkan kapal VOC tersebut jangkarnya yang berukuran raksasa itu kemudian diangkut keatas Benteng Keraton.
Pada masa Raja Buton ke-6, Lakilaponto, yang akhirnya berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul, benteng masyur ini menjadi pusat dakwah Islam.
Menilik sejarahnya, awalnya Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401–1499). Buton mulai dikenal dalam sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi. Di situ disebutkan Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi, di mana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air dengan rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke-13.
Kejayaan masa Kerajaan Buton (Wolio) sampai Kesultanan Buton sejak berdiri pada tahun 1332 sampai dengan 1960 telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang gemilang. Sampai saat ini masih dapat disaksikan berupa peninggalan sejarah, budaya seperti naskah kuno yg tersimpan pada garis keturunan Laode dan Waode di Pulau Buton. Banyak juga naskah yang dibawa oleh bangsa Belanda ke negera mereka pada masa kolonialisme. Peninggalan sejarah lain adalah berupa peninggalan arkeologi seperti kuburan raja dan sultan, benteng pertahanan keraton, pintu gerbang yg disebut lawa, meriam tua dan masih banyak lagi yg lainnya.
Wilayah Kesultanan Buton cukup luas. Kini di bekas wilayah kesultanan telah berdiri beberapa kabupaten dan kota bagian dari provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan, dan Kota Baubau.
Artikel Terkait: